Selasa, 17 Desember 2013

Tarif tol naik lagi



Para pengguna jalan tol dalam kota Jakarta siap-siap merogoh kocek lebih dalam lagi. Tinggal dua hari lagi sejumlah ruas jalan tol segera disesuaikan tarifnya alias tarif dinaikkan, tepatnya pada 5 Desember mendatang. Payung hukum kenaikan jalan bebas hambatan tersebut sudah dibubuhi tanda tangan oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto akhir November lalu, menyusul rekomendasi dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) selaku regulator yang menilai ruas jalan tol Cawang-Tomang-Pluit dan Cawang-Tanjung Priok-Ancol Timur-Jembatan Tiga sudah memenuhi standar pelayanan minimal (SPM). Tarif kenaikan jalan tol dalam kota Jakarta rata-rata sebesar Rp1.000 hingga Rp2.000, bergantung tarif golongan kendaraan yang sudah menjadi standar pelayanan operator jalan tol.
Seharusnya kenaikan tarif tol dalam kota Jakarta sudah diberlakukan sejak Oktober lalu seiring kenaikan tarif 13 ruas tol lain. Karena belum memenuhi SPM, kenaikan tarif tol dalam kota sepanjang 50,6 kilometer (km) ditangguhkan. Pada 5 Desember mendatang operator pengelola jalan tol dalam kota baru mendapat lampu hijau untuk menaikkan tarif. Setiap kenaikan tarif jalan tol yang pertama dikritisi masyarakat bukan soal besaran tarif yang disesuaikan, melainkan standar pelayanan operator yang dinilai tidak layak untuk menaikkan tarif.
Sorotan pertama pasti pada persoalan macet di dalam ruas tol. Jalan tol yang sejatinya bebas hambatan alias lancar malah terkadang mengalami kemacetan dan lalu lintas di jalan reguler (nontol) lebih lancar. Fakta tersebut seringkali melahirkan celoteh pengguna jalan tol begini, ”Kita masuk jalan bebas hambatan untuk membeli kemacetan”. Operator tidak perlu tersinggung sebab faktanya memang demikian. Apalagi penyebab kemacetan dalam ruas tol sangat dipengaruhi oleh kondisi jalan di luar tol.
Apa sajakah kriteria SPM yang harus dipenuhi operator jalan tol sebelum direstui pemerintah untuk menaikkan tarif? Terdapat lima kriteria SPM yang sudah ditetapkan BPJT. Pertama, kondisi jalan termasuk kekesatan jalan jangan sampai terlalu licin. Kedua, kecepatan tempuh rata-rata. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) PU No 392 /PRT/M/2006, kecepatan tempuh rata-rata sekitar 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata di luar jalan tol. Ketiga, kecepatan transaksi. Keempat, persoalan mobilitas menyangkut kendaraan derek. Kelima, masalah keselamatan yang terkait kelengkapan rambu, marka jalan, dan lampu penerangan jalan. Keenam, unit pertolongan seperti ambulans dan patroli polisi.
Ternyata apa yang dikeluhkan para pengguna jalan tol soal kemacetan memang tidak masuk dalam kriteria SPM. Masalah kemacetan menurut versi BPJT termasuk sulit untuk menetapkan kriterianya sebab jalan tol bagian dari sistem jaringan jalan. Kalau terjadi kemacetan parah di luar jalan tol, akan berimbas di dalam jalan tol. Untuk urusan macet jalan dalam kota, PT Jasa Marga Tbk sebagai salah satu operator mengaku tak bisa berbuat apaapa.
Apalagi persoalan kemacetan bukanlah wewenang dan tugas perusahaan pelat merah itu. Namun, Jasa Marga mengaku bukan berarti diam tidak melakukan langkah solutif misalnya bantuan traffic information center, melalui call center, sosial media, hingga papan informasi di depan pintu tol. Operator jalan tol milik pemerintah tersebut juga gerah dengan kemacetan yang menyumbat tol sebab berdampak langsung pada isi pundipundi Jasa Marga.
Manajemen BUMN bidang jalan tol itu mengistilahkan kemacetan adalah musibah. Tetapi, masih mendingan Jasa Marga masih bisa menikmati kenaikan tarif daripada pengguna tol mengorek kocek lebih dalam, namun menuai kemacetan. Sebenarnya solusi mengatasi permasalahan kemacetan jalan tol dan nontol dalam kota Jakarta sudah diketahui bersama yakni menambah jalan dan memperbaiki transportasi publik. Rasio jalan terhadap wilayah Jakarta masih sangat rendah baru sekitar 7,13%, bandingkan dengan Tokyo dan New York yang mencapai 20%.
Anehnya, bila bicara soal penambahan jalan dan transportasi massal di Jakarta, yang mengemuka adalah perdebatan panjang yang tak berarah. Untungnya, Gubernur DKI Jakarta Jokowi sudah mengambil langkah besar dengan memulai pembangunan MRT yang terkatung- katung selama puluhan tahun.

Sumber : Sindonews.com

Persepsi korupsi



Penyakit korupsi sepertinya belum mau beranjak pergi dari Indonesia jika melihat hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diluncurkan oleh Transparency International. Indonesia hanya mendapat nilai 32 atau sama dengan tahun 2012 dan berada di peringkat 114 dari 177 negara. Nilai 32 dari rentang skor 0–100 masih jauh dari baik atau mungkin bisa dikatakan buruk. Bahkan di negara-negara Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura (86), Brunei Darussalam (60), Malaysia (50), Filipina (36), dan Thailand (35). IPK Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (31), Timor Leste (31), Laos (26), Myanmar (21), dan Kamboja (20). Secara global, Indonesia masuk dari 70% negara yang memiliki nilai IPK di bawah 50.
Penilaian ini merupakan penggabungan data dari 13 lembaga internasional dan penggambaran persepsi para pakar serta pebisnis di sektor publik. Meski mengalami peningkatan peringkat, dengan nilai IPK hanya 32 menunjukkan bahwa negara ini masih dipersepsikan negara korup oleh dunia global. Lalu, validkah penilaian dari Transparency International? Tentu ini akan menjadi perdebatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perilaku korupsi memang sepertinya sudah merasuk di masyarakat kita.
Terlepas dari valid atau tidak penelitian tersebut, memang harus diakui korupsi masih saja menjadi penyakit akut bagi bangsa ini. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah dan mengatasi korupsi tampaknya masih jauh api dari panggang. Harus diakui, meski sudah berhasil mengungkap tindakan korupsi di beberapa proyek pemerintah bahkan menyeret beberapa pejabat baik menteri maupun setingkat menteri, tohkorupsi masih menjadi penyakit yang butuh penanganan khusus.
KPK yang sudah 10 tahun berkiprah di Tanah Air, tampaknya belum mampu mengurangi penyakit korupsi di negeri ini. Namun, tidak fairjika pemberantasan korupsi hanya dibebankan kepada KPK. Masih ada aparat lain yaitu kejaksaan dan kepolisian yang bisa berperan secara lebih aktif mengatasi penyakit ini. Pun demikian lembaga peradilan di negeri ini juga mempunyai peran yang signifikan. Artinya, masih tingginya persepsi korupsi di Indonesia di mata global bukan hanya dibebankan kepada KPK, melainkan juga lembaga penegak hukum lainnya.
Bahkan, departemen atau lembaga di pemerintahan ataupun perusahaan milik negara juga harus ikut berperan aktif dalam memerangi penyakit ini. Cukupkah kita membebankan kepada aparat penegak hukum dan pejabat? Lebih penting lagi sebenarnya peran masyarakat dalam menghadapi ini. Bak sudah menjadi kebiasaan, tanpa disadari masyarakat melakukan tindakan cenderung korupsi atau bahkan korupsi.
Melakukan pelanggaran aturan-aturan baik di lalu lintas, pajak, ataupun lainnya, adalah sebuah tindakan cenderung koruptif yang bisa mengarah korupsi. Masih banyak tindakan masyarakat yang tanpa disadari mengarah ke korupsi atau bahkan korupsi. Jadi, akan lebih baik daripada terus menghujat koruptor dan aparat penegak hukum, masyarakat pantas mengoreksi atau mereviu tindak tanduknya apakah sudah tidak korupsi. Artinya melihat penyakit korupsi di negeri ini harus lebih komprehensif dari individu kita, pejabat, lembaga atau organisasi, aparat, hingga sistem yang menghubungkan kepentingan semua tersebut. Akan menjadi kurang bijak jika kita menanggapi nilai IPK 32 dari Transparency International dari sisi aparat penegak hukum saja. Bangsa ini harus belajar melihat lebih luas sebuah persoalan, sehingga bisa memberikan solusi atau bahkan ikut mengatasi sebuah persoalan dengan lebih tepat.
Cara-cara ini juga menghindari sikap saling menyalahkan yang justru merupakan langkah kontradiktif menyelesaikan sebuah persoalan. Tentu jika kita melihat lebih luas dan komprehensif maka penyakit korupsi ini bisa diatasi dengan baik, dan negeri ini akan disejajarkan dengan Denmark dan Selandia Baru yang dipersepsikan negara bersih korupsi. Sekali lagi, syaratnya adalah melihat persoalan lebih komprehensif bukan sepotong-sepotong.

Sumber : Sindonews.com

Hari Antikorupsi Dunia



Hari ini kita akan memperingati hari antikorupsi sedunia. Tentu kita pantas bersedih, pantas menangis melihat bagaimana negeri ini tak kunjung terbebas dari cengkeraman korupsi. Karena korupsi-lah yang telah membuat bangsa ini terpuruk dan semakin tertinggal dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Apalagi “prestasi” korupsi di negara kita tetap tinggi. Survei Transparency International (TI) menyebutkan Indonesia menempati urutan ke-114 dari 177 negara dalam Corruption Perception Index (CPI) 2013. Posisi Indonesia dalam memberantas korupsi dinilai cukup rendah, yakni 32. Posisi ini sama dengan tahun 2012.
Bayangkan saja, Indonesia berada jauh di posisi bawah dibanding Singapura (86), Taiwan (61), Brunei (60), Malaysia (50), dan Filipina (36). Survei yang dilakukan kepada 114.000 orang di 107 negara menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara di Indonesia semakin menurun terhadap upaya pemberantasan korupsi. Survei di atas menunjukkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum belum mendapatkan hasil yang baik. Bahkan boleh dibilang pemberantasan korupsi di negara ini masih dalam tataran “formalitas” belaka. Pemberantasan korupsi hanya menyentuh kulit luarnya. Jadi kita masih “bermimpi” untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bebas korupsi. Ada sejumlah penyebab mengapa negara ini masih terus terjangkit penyakit kronis korupsi.
Pertama, rendahnya hukuman yang diberikan bagi koruptor dinilai tidak memberikan efek jera bagi orang lain untuk berbuat korupsi. Apalagi, banyak di antaranya yang mendapat hukumanbebas. Karenaitu, ketika beberapa waktu lalu ada hakim yang menghukum Andrian Waworuntu seumur hidup dan Angelina Sondakh dengan hukuman 12 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti hampir Rp 40 miliar, langsung mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Hukuman tinggi bagi dua terpidana korupsi itu seperti menjadi oase bagi minimnya vonis bagi para koruptor.
Kedua, korupsi yang dilakukan semakin canggih dan dilakukan secara berjamaah bukan lagi orang per orang. Bahkan, seperti kasus Hambalang, merupakan contoh korupsi yang dilakukan secara sistematis karena dirancang mulai awal dan akhirnya dibuat “bancakan” para oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab. Hal ini yang membuat penanganan kasus korupsi semakin kompleks dan rumit.
            Ketiga, korupsi yang terjadi seperti sudah menjadi budaya. Bukan rahasialagi, banyak sekali anggaran di-mark up dan hasilnya dibagi-bagi secara merata. Korupsi tak hanya dilakukan oleh pejabat, pegawai kecil pun secara sadar juga melakukannya. Jadi, korupsi yang terjadi memang sudah menjadi budaya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Apalagi, saat ini orang yang korupsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dilakukan untuk memenuhi nafsu keserakahan.  Kasus korupsi SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini maupun suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bisa menjadi contoh nyata betapa meskipun sudah memiliki gaji tinggi, mereka tetap mengkhianati amanah rakyat dengan korupsi.
Keempat, masih adanya kesan tebang pilih dari para aparat hukum untuk mengusut kasus korupsi. Para penegak hukum cenderung berbelit jika mengusut kasus yang melibatkan kekuasaan. Sebaliknya, mereka akan sangat tegas jika berhadapan dengan masyarakat yang tidak memiliki dukungan ekonomi dan politik sama sekali. Jadi jangan heran jika, vonis orang mencuri ayam terkadang lebih tinggi dibandingkan koruptor yang menggarong uang negara miliaran rupiah. Penegak hukum masih ewuh pakewuh pada koruptor yang masih memiliki pengaruh tertentu. Padahal, seharusnya sebagai penegak hukum mereka harus tegas kepada pengkhianat bangsa yang telah mencuri uang rakyat tersebut.

            Tak bisa ditunda lagi, fenomena di atas harus benar-benar menjadi cambuk bagi para penegak hukum untuk membebaskan negara ini dari lilitan korupsi. Jangan sampai terdengar lagi, koruptor dihukum rendah atau bebas karena adanya “main mata” dengan aparat hukum. Aparat hukum yang melanggar harus dihukum lebih berat lagi. Hukuman mati bagi koruptor tampaknya perlu dicoba diberikan karena negara kita sudah sangat darurat korupsi.  Selain juga, pemiskinan koruptor bisa menjadi strategi jitu untuk menumpas koruptor, karena ternyata banyak koruptor yang tidak takut diadili, yang ditakutinya hanya kemiskinan. Mari kita mulai dari diri kita untuk tidak korupsi!

Sumber : Sindonews.com

Vonis LHI dinilai tepat



Vonis 16 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kepada Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), terdakwa kasus dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian (Kementan), dinilai sudah tepat. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar mengatakan, dari sudut penuntutan, sudah cukup memenuhi target.  Sebab, kata dia, strafmaat atau jumlah penghukuman yang diberikan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor hanya berbeda 10 persen saja dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menuntut LHI dengan 18 tahun penjara. "Apakah sudah adil? Ini menjadi relatif. Tapi pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa tindakan LHI telah meruntuhkan kepercayaan publik pada DPR dan dunia politik adalah sudah sangat tepat," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), tidak terima dengan vonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan langsung mengajukan banding tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan tim kuasa hukum, pada sidang dengan agenda vonis, Senin, 9 Desember 2013 kemarin. "Saya mengambil keputusan tanpa konsultasi dengan tim penasihat hukum, saya tidak menerima dan akan naik banding," kata Luthfi usai mendengar pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2013).
Luthfi terdakwa kasus dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi menyebutkan, majelis hakim telah mengesampingkan pertimbangan dari tim kuasa hukumnya dan menerima 100 persen dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Tidak ada satu pun pertimbangan pengacara saya yang diterima," ucapnya. Majelis hakim menjatuhkan pidana selama 16 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar, jika tidak dibayar diganti dengan penjara selama 1 tahun. Majelis Hakim menilai, terdakwa juga dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

            Luthfi dianggap  melanggar pasal 3 huruf a,b,c dan pasal 6 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang serta pasal 3 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sumber : Sindonews.com


Kondomisasi



Hari AIDS sedunia 1 Desember lalu memunculkan kontroversi. Cerita ini terjadi ketika peringatan yang diarahkan untuk kampanye memerangi penyakit yang disebabkan infeksi virus HIV itu diwarnai dengan Pekan Kondom Nasional (PKN).  Kontroversi terjadi karena PKN yang digelar dari 1–7 Desember diisi dengan acara bagi-bagi kondom ke kampus dan sekolah- sekolah. Kontan saja, langkah ini menuai kritik dari sejumlah kalangan. Tak kurang dari Majelis Ulama Indonesia, ormas Islam, organisasi mahasiswa, dan tokoh nasional turun gunung untuk beramai- ramai mengecam program tersebut.
Malah, sebuah ormas memberi gelar kepada Menteri Kesehatan Nafsiah Mboy sebagai Ratu Kondom karena dianggap mendukung program tersebut. Selain kritik, protes ada yang diwujudkan dalam demonstrasi di kampus-kampus, beberapa di antaranya diwarnai benturan fisik. Muara kritik adalah, langkah yang dipilih tersebut sama halnya melegalkan seks bebas. Mengampanyekan penanggulan HIV/AIDS dengan cara tersebut menunjukkan rendahnya pemahaman otoritas terkait terhadap etika dan nilai moral serta kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Pendek kata, gerakan kondomisasi tersebut adalah program ngawur dan harus dicabut karena bisa menimbulkan bencana baru.
Pihak pendukung program tersebut, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), sejauh ini bersikukuh tidak ada yang salah dengan program tersebut. Selain berkeyakinan dengan manfaat kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS, mereka juga beralasan kampanye di kampus dan sekolah merupakan bagian dari program komprehensif kampanye anti-AIDS. Tetapi, kalau diselisik lebih jauh, kritikan yang kemudian muncul juga bisa dipahami.
Membagi kondom memang bisa berpotensi mengampanyekan seks bebas di kalangan remaja. Ibarat membagi permen ke anak-anak, pembagian kondom bisa menjadi ajakan untuk mencobanya. Potensi tersebut sangat mungkin terjadi jika penerima adalah mereka yang tidak mempunyai fondasi akhlak kuat. Pembagian kondom ke kalangan mahasiswa juga tidak tepat sasaran. Semestinya, kampanye tersebut langsung ke sasarannya, yakni tempat atau pusat pergerakan para hidung belang atau mereka yang berpotensi tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Kalau pun harus kampanye ke kampus, caranya bukan bagi-bagi kondom, tapi program yang bersifat edukatif seperti diskusi atau bimbingan spiritual.
Dalam konteks berpikir sistem, intervensi yang dilakukan dengan membagi kondom ke kampus dan sekolah juga dipastikan tidak efektif karena sejatinya kondom bukanlah solusi utama pencegahan HIV/AIDS. Semestinya yang dikampanyekan adalah bagaimana masyarakat bisa menjauhi seks bebas dan menggunakan narkoba yang menjadi sumber utama penularan AIDS, sembari terus mengingatkan bahaya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Kementerian Kesehatan dan KPAN sendiri pada akhirnya lepas tangan terhadap program kondomisasi tersebut dengan dalih program tersebut merupakan program swasta––produsen kondom DKT Indonesia––dan mereka pun tidak menggelontorkan dana untuk program tersebut.
Akan tetapi, persetujuan yang diberikan dengan memberi perizinan terhadap pelaksanaan program tersebut secara nasional, sebenarnya menunjukkan bahwa kedua lembaga tersebut harus bertanggung jawab. Kecuali mereka sudah tidak mempunyai kepekaan lagi terhadap karakter sosiologis masyarakat, karena sudah terseret jauh alur pemikiran liberalistis.

Sumber : Sindonews.com