Pertambahan
jumlah penduduk dan terus tumbuhnya kelas menengah yang tidak dibarengi
infrastruktur memadai, membuat problem Jakarta bertambah kusut. Kemacetan
lalu-lintas parah di mana-mana, tak cuma jalan protokol, di ‘jalan tikus’ pun
kemacetan mengular. Saking parahnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
mengibaratkan raut Jakarta bak ‘neraka’.
Benar
bahwa persoalan Jakarta bukan semata kemacetan lalu-lintas. Kriminalitas,
bencana banjir seperti yang menimpa warga Jakarta bulan lalu, permukiman kumuh,
kebutuhan air bersih sampai sampah, menjadi problem yang tak kalah serius.
Namun kemacetan lalu-lintas adalah problem yang teramat serius.
Percepatan
pembangunan infrastruktur yang menunjang sistem transportasi demi mengatasi
problem kemacetan lalu-lintas, mendesak segera dilakukan. Sebab jika tidak,
pada 2014, menurut studi Japan International Corporation Agency (JICA) dan The
Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), lalu-lintas Jakarta
akan lumpuh total. Jika bencana yang dalam kamus transportasi disebut gridlock
itu terjadi, Jakarta benar-benar menjadi sebuah neraka.
Sistem
transportasi yang ada di Jakarta memang centang perenang. Padahal dulu, di masa
penjajahan Belanda dan Jakarta masih bernama Batavia, kota ini punya sistem
transportasi yang termasuk modern di zamannya. Saat itu sistem transportasi
Jakarta tak kalah dengan kota-kota di Eropa dan AS. Bahkan Jakarta dianggap
pionir penerapan sistim transportasi umum perkotaan modern berbasis jalan rel
di Asia.
Tapi
sejalan dengan terus berkembangnya kota dan kebijakan rezim Presiden Soeharto
(1967-1988) yang memosisikan Jakarta sebagai sentral segala-galanya di
Indonesia, kota ini seperti ‘gagap’ melihat perkembangan yang terjadi. Sistem
MRT zaman baheula dikubur dalam ruang sejarah lalu coba dibangkitkan lagi pada
1986, kemudian pada 1992 dengan melibatkan konsultan asal Inggris, The DCM
Group Ltd. Hasilnya, tak lebih dari sekadar tumpukan kertas kerja tanpa aksi.
Baru
pada awal 2004 dalam wujud busway dengan bus TransJakarta, konsep MRT coba
dihidupkan untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Hasilnya lumayan. Pada
2009 jumlah penumpang TransJakarta tercatat 83,2 juta dan menjadi 86,9 juta
pada 2010. Jumlah itu meningkat lagi menjadi 114,78 juta pada 2011 namun
mengalami penurunan menjadi 110 juta tahun lalu yang diduga karena turunnya
kualitas pelayanan TransJakarta akibat banyak armada bus yang rusak, sulitnya
memperoleh bahan bakar gas (BBG) dan tidak sterilnya jalur busway.
(Sumber : inspirasi-insinyur.com)
Bro, punya versi aslinya gak?
BalasHapus