Besarnya kebutuhan energi
telah disepakati sebagai bentuk (1) konsumsi masyarakat, baik bagi keperluan
hidup dasar ataupun untuk menikmati kelebihan pendapatannya; (2) produktivitas
proses produksi di industrinya; (3) perputaran kegiatan jasa; dan (4) untuk
memfasilitasi mobilitas warga.
Telah diketahui
pula bahwa besarnya tarif yang diberlakukan untuk energi berlainan pada tiap
negara. Baik karena faktor harga sumber energi, pengolahan dan jaraknya maupun
karena kebijakan tiap negara. Kebijakan ini merupakan pilihan prioritas. Ada
yang memilih memanjakan masyarakatnya dengan energi yang murah, sebaliknya ada
yang memberikan tarif tinggi untuk konsumsi karena biaya energi makin mahal
seraya mengingatkan agar pandai-pandailah berhemat energi. Untuk tarif bagi
industri dan jasa komersial seharusnya semua sepakat bahwa dalam kompetisi
global sekarang ini harus betul-betul bersaing dan sekaligus membuktikan tanpa
disubsidi.
Porsi minyak
sebagai bahan baku energi di negeri kita adalah sebesar 41,45 %. Dari jumlah
itu, 18 % nya digunakan untuk transportasi dan 7 % untuk pembangkit listrik.
Dalam menyikapi kenaikan harga minyak sudah banyak yang mengupas dan mengulas
apakah subsidi BBM untuk masyarakat dipertahankan, dihapus sama sekali atau
dengan kebijakan ‘separuh kopling’. Memutuskan yang terakhir ini menjadi sangat
rumit karena menyangkut situasi/kondisi politik, kriteria, asumsi simulasi dan
proses persetujuan yang semuanya memerlukan faktor waktu. Kadang-kadang seperti
hampir diputuskan namun sampai tulisan ini diketik masih belum ada hitung
mundurnya.
Ketidakpastian
ini memunculkan paling tidak 2 kerugian. Pertama, sudah mengkibatkan berbagai
kenaikan harga yang sudah sering dikeluhkan masyarakat. Hanya para cerdik
pandai ekonomi yang bisa menjelaskannya. Kedua, kerugian tidak berkembangnya
situasi riset, inovasi dan kreativitas dan investasi untuk mengomersialkan
sumber energi lain.
Yang ini
pekerjaan para insinyur. Sulit membayangkan dengan selisih biaya yang demikian
besar akan muncul kalkulasi kelayakan dari riset, pengembangan dan mencapai
titik komersialnya . Bisa jadi lemari dana untuk riset sudah langsung dikunci
rapat-rapat. Apalagi bila mengharapkan turunnya dana investasi dari kalangan
lembaga keuangan. Kerugian yang kedua tadi bisa melemahkan posisi para insinyur
kita dibandingkan insinyur negara lain karena menjadi tidak bersaing di posisi
harga BBM yang sama. Hilang kesempatan berlomba menemukan substitusi energi
yang lebih efisien, hilang peluang mengembangkan kelayakan yang artinya berproses,
bersimulasi dan menemukan cabang-cabang kemungkinan baru yang lain dari potensi
yang kita miliki.
Tentu saja kita
tidak berharap terjadi hambatan terhadap proses kreatif para insinyur. Mulai
dari pendidikan di sekolah tinggi teknik hingga mengembangkan kompetensinya,
insinyur dimaksudkan dapat memberi solusi atas masalah yang selalu akan muncul.
Dalam situasi subsidi inipun, kreativitas insinyur tidak boleh merasa
terkendala oleh kebijakan pemerintah. Mungkin di tingkat nasional disparitas
harga BBM ini menjadi hambatan tapi dalam tatanan global sekarang ini insinyur
kita bisa saja melakukan kreasinya di belahan bumi yang lain. Harga tanpa
subsidi di berbagai negara lain sesungguhnya merupakan peluang bagi insinyur
kita.
Kecemasan akan
munculnya brain drain selalu ada. Tetapi China dan India, adalah
contoh bagaimana mereka mengembangkan teknologinya sehingga digunakan oleh
negara maju seperti Amerika Serikat. Ada animator di tanah air yang
kreativitasnya dimanfaatkan oleh negara lain. Ada rekan yang tengah menuntaskan
uji komersial teknologi coal upgrading-nya dan berbagai perusahaan
global telah menyampaikan minatnya untuk bekerja sama. Jadi insinyur tidak usah
ikut menunggu pertunjukan tarik ulur subsidi BBM berakhir. Tatanan global
sekarang ini harus bisa dijadikan peluang. Perbedaan harga komoditi boleh
dijadikan peluang oleh pedagang, namun perbedaan efisiensi proses teknologi
sebenarnya adalah peluang bagi insinyur kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar