Sejumlah kalangan pengusaha
mengharapkan Bank Indonesia dapat menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS. Di satu sisi, eksportir bergembira dengan pelemahan rupiah,
sebaliknya importir keberatan. Pasar diminta tidak panik. Kalangan pengusaha
yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia
(Gapmmi) berharap pemerintah bisa mengendalikan nilai rupiah agar tidak terus
melemah. Pasalnya, melemahnya nilai rupiah memberatkan mereka mengimpor bahan
baku bagi pangan olahan atau produk dalam kemasan.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman, di
Jakarta, Selasa (16/7/2013), mengemukakan, sebagian besar bahan baku produk
pangan olahan merupakan produk impor. Sebagai contoh adalah bahan tambahan
pangan, gandum, dan gula diimpor sebanyak 60 persen, konsentrat jus buah 60 persen,
dan bawang putih 90 persen ”Oleh karena itu, melemahnya nilai rupiah tentu saja
akan sangat memberatkan sejumlah pengusaha. Hal itu pun akan berpengaruh pada
kenaikan harga sejumlah produk pangan olahan,” ujar Adhi.
Sulit memastikan besaran kenaikan
harga produk pangan olahan apabila nilai rupiah terus melemah. Pasalnya,
kenaikan harga produk pangan olahan sangat bergantung pada kebijakan setiap
perusahaan dan formula bahan baku yang digunakan. Adhi memastikan, saat ini,
melemahnya nilai rupiah belum berpengaruh pada harga sejumlah produk pangan
olahan. Hal itu karena sejumlah pengusaha masih memiliki stok cadangan bahan
baku untuk produk pangan olahan hingga sebulan ke depan. Selain itu, umumnya,
mendekati Idul Fitri, penyesuaian harga tidak mungkin dilakukan. ”Namun, kalau
nilai rupiah terus melemah, saya perkirakan sebulan ke depan baru akan terasa
dampaknya terhadap kenaikan harga produk pangan olahan,” ujar Adhi.
Adhi mendukung upaya BI dalam
mengendalikan nilai rupiah. ”Kami sangat mendukung upaya pemerintah dan BI
dalam mengendalikan stabilitas nilai rupiah,” kata Adhi. Sementara itu,
Sekretaris Jenderal DPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia Achmad
Ridwan Tento mengatakan, melemahnya rupiah belum terasa pada importir. ”Saat
ini, banyak sekali barang impor masuk. Namun, barang-barang itu dipesan 2-3
bulan lalu, masih memakai kurs Rp 9.600-Rp 9.700 per dollar AS,” kata Ridwan.
Tingginya barang impor saat ini
sudah menjadi pola tahunan. Setiap kali menjelang Lebaran, impor akan tinggi
sekali. Kondisi ini baru berhenti saat empat hari menjelang Lebaran. Mengenai
kemungkinan importir menurunkan barang impor, Ridwan mengatakan, sangat
tergantung dari kondisi setelah Lebaran. ”Jika permintaan masyarakat masih
tinggi, mau tidak mau impor tetap akan tinggi. Tetapi, saya perkirakan,
permintaan akan merosot jauh,” ujar Ridwan.
Merosotnya permintaan itu karena
daya beli masyarakat juga menurun setelah kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi dan harga bahan kebutuhan pokok lainnya. Untuk mengatasi
melemahnya nilai tukar rupiah, Ridwan sangat berharap ada tindakan tepat dari
BI dan pemerintah. ”Bagi kami, nilai tukar yang pas itu Rp 9.600-Rp 9.700,” kata
Ridwan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, di Jakarta,
mengatakan, dunia usaha saat ini membutuhkan kepastian nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS untuk memprediksi bisnisnya. ”Harus ada kepastian kita akan
bermain di kurs berapa, apakah pada kisaran Rp 9.500-Rp 9.700, atau kisaran
berapa,” katanya.
Sofjan mengakui, kalangan dunia
usaha menilai pelemahan rupiah terhadap dollar AS dapat membantu kinerja ekspor
Indonesia. Meski demikian, kondisi tersebut juga menimbulkan permasalahan bagi
industri manufaktur yang sangat bergantung pada bahan baku impor. Menurut
Sofjan, pelemahan rupiah memberi keuntungan bagi kegiatan ekspor beberapa
komoditas dalam negeri, seperti produk kelapa sawit dan kakao.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan
Indonesia Ade Sudrajat menuturkan, pelemahan rupiah harus dimanfaatkan untuk
menutup lemahnya daya beli di pasar dalam negeri. Ade mengatakan, saat ini,
perdagangan tekstil dan produk tekstil Indonesia surplus 5 miliar dollar AS.
Ekspor mencapai 13 miliar dollar AS, sedangkan impor 8 miliar dollar AS.
”Pelemahan rupiah akan memperbesar surplus perdagangan,” kata Ade.
Ketua Umum Asosiasi Industri
Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono berpendapat posisi
rupiah yang menembus Rp 10.000 per dollar AS dapat menekan defisit perdagangan
Indonesia. Ekspor akan meningkat.
Tidak panik
Nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS terus melemah. Kemarin, setelah menyentuh Rp 10.024 per dollar AS pada Senin
(15/7/2013), nilai rupiah kembali melemah 12 poin menjadi Rp 10.036 pada Selasa
(16/7/2013).
Namun, BI melalui Direktur Eksekutif
Departemen Komunikasi Difi Ahmad Johansyah memastikan tidak ada kepanikan di
pasar. Kondisi ini jauh berbeda dengan tahun 1997-1998 Saat ini, pelemahan
rupiah menunjukkan kondisi fundamental ekonomi, tetapi dalam situasi ekonomi
dan politik yang terjaga. Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM Yogyakarta Tony Prasetiantono. Pasar tenang, tidak panik.
”Tahun 1997-1998, kondisi perekonomian lebih buruk, terutama perbankan tidak
sehat,” ujar Tony.
Defisit transaksi berjalan pada masa
krisis ekonomi saat itu juga lebih besar, utang luar negeri banyak yang jatuh
tempo, dan dengan cadangan devisa yang hanya 21 miliar dollar AS. Saat itu,
kondisi politik juga bergolak menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Kondisi
panik pasar, antara lain, ditandai dengan pelepasan dollar AS dalam jumlah
besar dari penjual kepada pembeli. Jika pasar terkoreksi, harga sesuai dengan
permintaan pembeli.
Namun, volume besar di pasar valuta
asing tidak bisa serta-merta diartikan sebagai kondisi panik. Ada juga
pembelian dalam jumlah besar oleh korporasi atau institusi yang sebenarnya
sudah direncanakan jauh-jauh hari, tetapi pelaksanaannya bertepatan dengan
kondisi pasar yang sedang terkoreksi.
Menurut ekonom Bank BNI, Ryan
Kiryanto, permintaan dollar AS memang tinggi, baik oleh korporasi atau
institusi maupun individu. Jumlah masyarakat kelas menengah yang meningkat,
turut mengubah gaya hidup dan liburan.
Sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar