Jumat, 12 Oktober 2012

Jurnal Koperasi Ekonomi 3


Review

Kajian Tentang Keterkaitan Koperasi Sekunder dengan Koperasi Primer Anggotanya*)

*) Kajian Asdep Urusan Penelitian Koperasi tahun 2007.
Artikel diterima 24 April 2009, peer review 24 April 2009, review akhir 7 Juli 2009
**) Kabid. Kehutanan, Deputi Bidang Produksi (koordinator kajian)
***) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK

Oleh :
Togap Tambunan**) dan Jannes Situmorang***)

Abstrak
           Penilaian pada interelasi koperasi sekunder dengan koperasi primer dari anggota mereka ditujukan untuk: a). Untuk mengidentifikasi keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer dari anggota mereka. b). Untuk mengidentifikasi keterkaitan berdasarkan kelompok fungsional dilaksanakan oleh koperasi sekunder untuk koperasi primer dari anggota mereka.
Penilaian ini dilakukan dalam 8 dengan benda koperasi sekunder dan primer dari anggota mereka. Sampel ditentukan dengan menggunakan purposive sampling. Hasil analisis data menunjukkan bahwa: a). Dari sudut pandang pelaksanaan semua fungsi integrasi vertikal koperasi sekunder terkait dengan koperasi primer dari anggota mereka. Hubungan timbal balik ini sangat penting dan nyata, tetapi memiliki tingkat keterkaitan yang lemah. b). Dari aspek pelaksanaan vertikal kelompok integrasi fungsi masing-masing fungsi institusional, fungsi bisnis dan fungsi pendukung, koperasi sekunder terkait dengan koperasi primer anggota mereka.       

           Hubungan timbal balik ini juga signifikan atau nyata, namun tingkat keterkaitan masih lemah.
Penilaian ini menunjukkan sehingga tingkat keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi primer anggota ot mereka bisa menjadi lebih kuat maka pembangunan kapasitas, melalui pelatihan, penyuluhan, sosialisasi, pemberdayaan prinsip-prinsip koperasi, dan teknik harus ditingkatkan.

Kata Kunci : Koperasi primer, koperasi sekunder, keterkaitan lemah, capacity building


I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
           Undang-Undang Koperasi Nomor 25 tahun 1992 menyebutkan bahwa koperasi sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi primer dan/atau koperasi sekunder berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi. Koperasi sekunder dapat didirikan oleh koperasi sejenis maupun koperasi berbagai jenis atau tingkatan. Pendirian koperasi sekunder dalam berbagai tingkatan selama ini dikenal dengan sebutan (1) Pusat, (2) Gabungan, dan (3) Induk.
           Beberapa contoh Koperasi Sekunder yang dikenal antara lain INKOPOL, INKOPKAR, IKPRI, INKOPDIT, INKUD, IKPI, GKBI, GKSI, PUSKUD, PUSKOPDIT, PUSKOPTI, PUSKOPKAR, PUSKSP, dan lain-lain. Hingga saat ini tercatat terdapat 156 koperasi sekunder tingkat nasional yang terdiri dari 63 Induk Koperasi, 7 koperasi berbentuk Gabungan, dan 86 koperasi lainnya berbentuk Pusat (Kementerian Koperasi dan UKM, 2005). Jumlah ini belum termasuk koperasi sekunder yang tersebar disetiap provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia.

1.2 Permasalahan
           Fungsi koperasi sekunder secara spesifik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 adalah (1) Berfungsi sebagai jaringan dengan sekurang-kurangnya 3 anggota untuk menciptakan skala ekonomis dan posisi tawar, dan (2) Berfungsi sebagai ”subsidiaritas” dimana bisnis yang dilaksanakan anggota (koperasi primer) tidak dijalankan oleh koperasi sekunder sehingga tidak saling mematikan. Juga menurut undang-undang tersebut, koperasi sekunder didirikan oleh dan beranggotakan koperasi primer dan/atau koperasi sekunder berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi.

1.3 Tujuan Kajian
           Tujuan kajian ini adalah untuk: 1). Mengetahui keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggotanya; 2). Mengetahui keterkaitan berdasarkan kelompok fungsi yang dilaksanakan koperasi sekunder kepada koperasi primer anggotanya.

1.4 Ruang Lingkup
           Ruang lingkup kajian meliputi beberapa aspek antara lain: 1). Identifikasi hubungan fungsional dan capacity building koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggotanya; 2). Identifikasi keterkaitan usaha antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggotanya; 3). Efisiensi usaha dan bargaining position di dalam koperasi sekunder tingkat provinsi dan koperasi primer anggotanya.

II. KERANGKA PEMIKIRAN
           Koperasi sekunder memiliki bentuk koperasi yang khas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkoperasian. Koperasi sekunder tidak berbasis kepada orang (member based) melainkan dibentuk berdasarkan kesamaan kebutuhan organisasi, yakni koperasi sekunder yang dibentuk oleh badan hukum koperasi primer. Berdasarkan basis pembentukannya, maka koperasi sekunder memiliki tiga azas yaitu: (1) Efisiensi, (2) Mutual (saling melengkapi), dan (3) Kebersamaan. Koperasi sekunder memiliki dua fungsi yaitu sebagai suatu jaringan dan sebagai subsidiaritas. Sebagai jaringan, koperasi sekunder diharapkan mampu menciptakan skala ekonomis dan posisi tawar bagi dirinya sendiri dan bagi koperasi primer anggotanya. Sedangkan fungsi subsidiaritas memiliki arti bisnis yang dilakukan anggotanya (koperasi primer), tidak dijalankan di tingkat koperasi sekunder, sehingga tidak saling mematikan.

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian
           Kajian ini telah dilaksanakan pada 8 provinsi yang memiliki koperasi sekunder masing-masing: Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.

3.3 Metode Penarikan Sampel (Sampling Methode)
           Penarikan sampel pada objek kajian dilakukan dengan metode Purposive Sampling. Dari lokasi kajian yang telah ditentukan, kemudian dipilih koperasi sekunder dan primer anggota sebagai sampel. Sampel koperasi sekunder tingkat provinsi dan koperasi primer anggota dipilih berdasarkan informasi dari dinas koperasi provinsi setempat. Koperasi sekunder dimaksud adalah yang masih aktif dan memiliki keterkaitan dengan koperasi anggotanya. Responden penelitian ini adalah pengurus koperasi sekunder dan pengurus koperasi primer anggotanya.

3.1 Jenis Data
           Data yang dikumpulkan sebagai bahan analisis terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari para responden melalui wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun secara terstruktur. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari laporan-laporan Kementerian Koperasi dan UKM, BPS tingkat provinsi, dinas koperasi tingkat provinsi dan kabupaten, dan dari masing-masing koperasi.

3.2 Seleksi Fungsi-fungsi Keterkaitan
           Keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi primer dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi-fungsi diantara mereka. Fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan oleh masing-masing tentu sangat banyak. Seleksi fungsi-fungsi tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Petunjuk Pemeringkatan Koperasi Berkualitas dan Koperasi Berprestasi. Diperoleh 25 fungsi yang layak dijadikan faktor yang menentukan keterkaitan dimaksud. Fungsi-fungsi tersebut dikelompokkan dalam tiga bagian masing-masing: (1) Fungsi kelembagaan, (2) Fungsi usaha, dan (3) Fungsi penunjang. Definisi fungsi-fungsi tersebut adalah:

A. Kelembagaan
FA1 : memberikan bimbingan dan advokasi keanggotaan
FA2 : memberikan masukan mengenai RAT (menghadiri, mengarahkan)
FA3 : ikut menyusun rencana kerja dan RAPB Koperasi Sekunder
FA4 : memberikan pelatihan manajerial koperasi
FA5 : menegakkan implementasi nilai-nilai koperasi
FA6 : memberikan pelatihan organisasi koperasi
FA7 : memberikan pelatihan keanggotaan koperasi
FA8 : mengadakan pertemuan khusus, ilmiah (seminar, lokakarya)
FA9 : membangun kerjasama antara koperasi anggota
FA10 : mengupayakan kemitraan dengan pihak ketiga
FA11 : mengadakan pertemuan secara periodik
FA12 : menghadiri RAT Koperasi Sekunder
FA13 : membagikan SHU kepada anggota
FA14 : memenuhi kewajiban.

B. Usaha
FB1 : membantu penyusunan business plan (rencana kerja)
FB2 : membantu dan membangun jaringan pemasaran
FB3 : membantu pengolahan/proses produksi
FB4 : membantu permodalan/pembiayaan produksi
FB5 : membantu promosi
FB6 : mengadakan temu usaha.

C. Penunjang
FC1 : membantu administrasi bisnis (pembukuan, akuntansi, dll)
FC2 : membantu manajemen
FC3 : membantu sistem informasi
FC4 : membantu penyebaran informasi
FC5 : membantu image (citra) koperasi.
Keterangan :
Fungsi FA1, FA2, FA4 sampai FA11, dan FA13; FB1 sampai FB6 dan FC1 sampai FC5 dilaksanakan oleh koperasi sekunder kepada koperasi primer anggota, sedangkan fungsi F3, F12 dan F13 dilaksanakan oleh koperasi primer anggota kepada koperasi sekunder. 

3.3 Metode Analisis Data
a). Uji Chi Square (Uji 2χ)
Keterangan :
2χ = Chi – Square
fo = Frekuensi yang diperoleh dari sampel (hasil observasi)
fh = Frekuensi yang diharapkan atau disebut juga frekuensi teoritis.

b). Uji Signifikansi
           Uji siginifkansi digunakan untuk menunjukkan bahwa apakah ada hubungan yang signifikan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Dalam penelitian ini, uji signifikansi digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara koperasi sekunder dengan koperasi primer anggotanya melalui fungsi-fungsi yang mereka lakukan. Hipotesis yang digunakan adalah hipotesis nol/nihil (H0) dan hipotesis tandingan/alternatif (H1).

c). Koefisien Kontingensi (C)
           Koefisien kontingensi digunakan untuk mengukur derajat hubungan, asosiasi, atau dependensi dari klasifikasi-klasifikasi dalam tabel kontingensi. Derajat hubungan di sini menunjukkan ada korelasi atau tidak antara kolom dan baris tabel kontingensi, dan apakah hubungan tersebut kuat atau tidak kuat. Rumus koefisien kontingensi adalah :
nC+=22χχ ........................................................................... (3)
dimana :
C = Koefisien kontingensi
2χ = Nilai chi- square
n = Besar sampel.
           Hasil koefisien kontingensi (C) berkisar antara nol hingga satu. Jika C = 0 maka tidak terdapat keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi primer anggotanya. Jika C = 1 maka terdapat keterkaitan yang sangat kuat diantara keduanya, dan jika C > 0.5 maka terdapat keterkaitan antara keduanya dan keterkaitan tersebut dikatakan cukup kuat. Sedangan jika C < 0.5 maka terdapat keterkaitan antara keduanya namun keterkaitan tersebut lemah.


IV. GAMBARAN UMUM KOPERASI
4.1 Koperasi Sekunder Tingkat Provinsi
           Dari hasil survei lapangan pada 8 provinsi, diperoleh 33 koperasi sekunder. Jumlah tersebut dibagi dalam 12 jenis koperasi masing-masing: (1) PUSKUD (Puskud Jatim, Jateng, Sumbar, NTT, Sulsel, Sumut, dan Kalbar); (2) GKSI Jateng; (3) PUSKOPDIT (Puskopdit Jateng, NTT, Sumut); (4) PUSKUD MINA (Puskud Mina Jatim); (5) PKP-RI (PKP Sumbar, NTT, Sulsel, Sumut, Lotim dan Lobar); (6) PUSKOPPAS (Puskoppas Sulsel); (7) PUSKOPPONTREN (Puskoppontren Sulsel);
JURNAL VOLUME 4 - AGUSTUS 2009 : 140-160 (8) PUSKSP (Puskospin Jatim, NTB); (9) PUSKOPWAN (Puskowan Jatim, Sumbar, Sulsel); (10) PUSKOPPOLDA (Puskoppolda Sumbar, NTT, Sulsel, Puskopad A’DAM VII/WRB, Sumut); (11) PUSAT KOPERASI VETERAN (Puskop Purnawirawan & Warakawuri TNI & Polri NTT), dan (12) PKSU (PKSU NTB dan Kalbar). Dari sisi permodalan, hampir semua koperasi sekunder tingkat provinsi mengeluhkan kekurangan modal untuk pembiayaan usahanya. Namun dengan segenap keterbatasan yang ada mereka tetap berusaha untuk tetap eksis menjalankan usaha yang ada. Rata-rata Koperasi sekunder menghadiri RAT yang diselenggarakan koperasi primer anggotanya. Namun dalam hal kerjasama membangun jaringan usaha yang saling terkait dengan usaha anggotanya, jarang dilakukan. Ada beberapa koperasi primer sampel menyatakan tidak memperoleh informasi memadai dari koperasi sekunder dalam kegiatan pengembangan usaha dan informasi pasar.

4.2 Koperasi Primer Anggota
            Koperasi primer anggota dari koperasi sekunder yang terpilih dalam penelitian ini berjumlah 107 koperasi. Jumlah ini dikategorikan menurut 12 jenis koperasi sekunder tingkat provinsi dengan perincian sebagai berikut: (1) KUD, 26 koperasi; (2) KUD Susu, 4 koperasi; (3) KOPDIT, 11 koperasi; (4) KUD MINA, 2 koperasi; (5) KPRI, 24 koperasi; (6) KOPPAS, 6 koperasi; (7) KOPPONTREN, 1 koperasi; (8) KSP, 7 koperasi; (9) KOPWAN, 5 koperasi; (10) KOPPOLDA, 12 koperasi, dan (11) KSU, 9 koperasi. Rata-rata koperasi primer terjalin usahanya dengan koperasi sekunder hanya sebatas organisasi dan belum kepada pelaksanaan fungsi-fungsi secara nyata. Rata-rata koperasi primer membutuhkan campur tangan pemerintah menangani permasalahan yang mereka hadapi mengenai bantuan permodalan, pembinaan dan pelatihan managemen serta kerjasama dengan berbagai pihak.


V. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
           Untuk mengetahui sejauh mana koperasi sekunder berperan menunjang aktivitas dan usaha-usaha koperasi anggotanya maka perlu dibahas sejauh mana keterkaitan di antara mereka. Keterkaitan di antara koperasi sekunder dan koperasi anggotanya dapat terwujud di dalam fungsi-fungsi yang dijalankan di antara mereka. Keterkaitan diantara koperasi dibedakan atas dua kategori. 1). keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggota secara keseluruhan. 2). keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggota dipisahkan menurut golongan fungsi yakni fungsi-fungsi kelembagaan, fungsi-fungsi usaha dan fungsi-fungsi penunjang.

5.1 Keterkaitan Koperasi Sekunder Tingkat Provinsi dengan Koperasi Primer Anggotanya Dianalisis Menurut Keseluruhan Fungsi
           Koperasi sekunder secara nyata dapat terkait dengan koperasi primer anggotanya jika dilihat dari sisi pelaksanaan fungsinya secara menyeluruh. Pada tabel 2 disajikan distribusi frekuensi pelaksanaan fungsi-fungsi keterkaitan koperasi sekunder dengan anggotanya, dan pada tabel 3 disajikan nilai chi square menurut analisis keseluruhan fungsi integrasi.

5.2 Keterkaitan Koperasi Sekunder Tingkat Provinsi dengan Koperasi Primer Anggotanya Dianalisis Menurut Kelompok Fungsi
          Analisis menurut kelompok fungsi dimaksudkan untuk melihat apakah ada keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi anggotanya dilihat dari 3 kelompok fungsi, masing-masing fungsi kelambagaan, fungsi usaha, dan fungsi penunjang. Pada tabel 4 disajikan distribusi frekuensi pelaksanaan fungsi-fungsi keterkaitan koperasi sekunder dengan anggotanya menurut katagori fungsi, dan pada tabel 5 disajikan nilai chi square menurut analisis kelompok fungsi integrasi.


VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
        Berdasarkan data dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya mengenai keterkaitan koperasi sekunder dengan koperasi anggotanya pada delapan daerah survei masing-masing provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat, dirumuskan beberapa kesimpulan sesuai tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Dilihat dari pelaksanaan keseluruhan fungsi integrasi vertikal, koperasi sekunder terkait dengan koperasi primer anggotanya. keterkaitan ini signifikan atau nyata namun memiliki tingkat hubungan yang lemah.
2. Dari sisi pelaksanaan kelompok fungsi integrasi vertikal masing-masing fungsi-fungsi kelembagaan, fungsi-fungsi usaha, dan fungsi-fungsi penunjang, koperasi sekunder terkait dengan koperasi Primer anggotanya. Keterkaitan ini juga signifikan namun tingkat keterkaitannya lemah.

6.1 S a r a n
           Sesuai hasil analisis yang menunjukkan bahwa keterkaitan koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggota yang lemah maka disarankan agar koperasi sekunder harus meningkatkan capacity building melalui pelatihan, penyuluhan, pemasyarakatan, pemberdayaan prinsip-prinsip koperasi dan teknis perkoperasian.


VII. DAFTAR PUSTAKA
Agresti. A. and Barbara. F. Statistical Methods for the Social Sciences. Prentice Hall, New Jersey.
Anonim, (1992). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 199 2 tentang Perkoperasian.
-------------, (2004). Pedoman Pengembangan Koperasi Khusus Koperasi Sekunder di DKI Jakarta Tahun 2004. Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi DKI Jakarta, Jakarta.
Kajian Tentang Keterkaitan Koperasi Sekunder Dengan Koperasi Primer Anggotanya
(Togap Tambunan dan Jannes Situmorang)
160
-------------, (2006). Solusi Koperasi & Usaha Kecil. Warta Koperasi. No. 164, Maret 2006, Jakarta.
Bayu Krisnamurthi, (1988). Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha Koperasi Unit Desa di Jawa Barat. Suatu Kajian Cross-Section. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Djarwanto, (1999). Statistik Nonparametrik. BPFE Yogyakarta.
Donald Ary, L. Ch. Yacobs and Razavich, (1979). Introduction in Research Education 2nd Editon. Hott Rinehart and Winston, Sydney.
Earl R. Babie, (1973). Survey Research Methods. Belmont, Wadsworth Publication Co., California.
Hadi. S, (1987). Statistik II. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.
ICA, (1995). Farmer Organizations and Rural Cooperatives. International Cooperative Aliance (ICA) Communication, May 1995.
(//gopher.adp.wisc.edu:70)
Partomo. S.T. dan Abdul Rahman S, (2002). Ekonomi Skala Kecil/Menengah & Koperasi. Penerbit, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta.
Suwandi, (1987). Koperasi Organisasi Ekonomi yang Berwatak Sosial. Bharata, Jakarta.
Suwandi, (2005). Revitalisasi Koperasi Sekunder Nasional. Media Pengkajian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, No: 26 Tahun XX 2005, Jakarta.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar