Indonesia telah didaulat sebagai tuan
rumah perhelatan pemilihan Miss World 2013. Euforia terhadap perhelatan dunia
yang diusung untuk pesan komersialisasi di Indonesia tersebut semakin gegap
gempita dipublikasikan oleh pihak penyelenggara. Media juga tidak mau
ketinggalan mengambil peran publikasi di dalamnya. Akan tetapi, penyelenggaraan
acara itu perlu kita sikapi secara kritis. Kita dapat melihat dari berbagai sisi,
banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan ajang tersebut yang bertentangan dengan
kearifan lokal maupun secara prinsip kemanusiaan yang sifatnya asasi.
Dimulai dari latar belakang sejarah
munculnya acara ini adalah untuk kegiatan komersial dimana salah satu
perusahaan bikini ini mempromosikan produk pakaian renang dengan tajuk Festival
Bikini Contest yang dimotori oleh Eric Morley pada tahun 1951 di Inggris.
Selanjutnya media menyebut acara ini
dengan sebutan `Miss World`. Dengan menampilkan perempuan-perempuan yang
mengenakan bikini sebagai salah satu sesi yang wajib dilalui dalam kontes ini. Pada
awal-awal publikasi kegiatan ini sudah mendapat perlawanan dari kaum feminis
dalam aksi demonstrasi penentangan penyelenggaraan acara tersebut. Kemudian
Morley mengemas dan memunculkan slogan baru Beauty With Purpose. (Sumber: http://www.mypopzone.com/2012/12/
miss-world-dari-masa-ke-masa.html)
Melihat latar belakang tersebut bisa
kita tinjau bahwasanya pesan komersialisasi adalah yang utama dari kegiatan
ini. Kekeliruan yang terjadi adalah ketika perempuan menjadi objek komoditas
yang dipertontonkan. Sejatinya perempuan sebagai seorang manusia yang dengan
segala kekhasan penciptaan atas dirinya secara artifisial tidak patut dijadikan
objek ajang kompetisi. Akan tetapi dengan mempertontonkan citra perempuan
secara fisik, maka secara langsung telah merendahkan martabat perempuan sebagai
manusia yang harus dihargai dan diperlakukan sama. Melakukan penilaian dan
kompetisi terhadap citra fisik perempuan sama halnya dengan
membanding-bandingkan penciptaan perempuan sebagai sosok yang terlahir dengan citra
fisik unik.
Oleh sebab itu, secara prinsip
manusia tidak memiliki otoritas melakukannya. Mari kita lihat analogi di dalam
keluarga, antara satu anak dengan anak lain tentu tidak akan bisa menerima apabila
orang tua membanding-bandingkan mereka. Atau misalnya di dalam masyarakat adalah
tidak dibenarkan apabila kita memandang orang yang berkebutuhan khusus, cacat
fisik dan lain sebagainya dibanding-bandingkan dengan yang terlahir secara
normal dan menganggap yang satu lebih baik dari yang lain. Selain itu penilaian
terhadap citra fisik perempuan tentu akan menyinggung isu SARA. Penilaian
kecantikan fisik tidak memiliki standar mutlak sehingga hal itu berpotensi
menimbulkan kesenjangan di antara perempuan. Definisi cantik bukanlah milik
juri atau penyelenggara acara serupa. Karena manusia di dunia berasal dari rumpun
ras yang berbeda, dengan keunikan masing-masing yang harus dihormati.
Kecantikan bukanlah sesuatu yang bias
dipertontonkan dan diperlombakan apalagi menjadi alat komersialisasi. Faham materialism
telah menggeser keberadaan manusia dengan mengagungkan penampilan fisik sebagai
kelebihan atau kekurangan seseorang atas orang lain untuk dihargai.
Masyarakat dibentuk paradigmanya
tentang definisi cantik yang sangat artifisial. Berat badan, tinggi badan, dan semua skala fisik yang
ditentukan oleh segelintir orang bagaimana mungkin bisa disepakati sebagai
standar yang bisa diterima global. Di lain sisi opini yang mengatakan bahwa penyelenggaraan
acara ini akan memberikan pengaruh besar terhadap ekonomi suatu negara hanyalah
asumsi yang perlu dipertanyakan. Dapatkah mereka memberikan bukti bahwa tuan rumah
yang menyelenggarakan event tersebut mengalami pengaruh positif yang signifikan
terhadap kondisi ekonomi? Bagaimana tingkat investasi tumbuh akibat acara
tersebut?
Demikian juga dengan promosi
pariwisata. Apakah berbanding lurus peningkatan jumlah wisatawan yang datang
yang disebabkan oleh negara tertentu menjadi tuan rumah? Tidak ada data yang
bisa mereka berikan. Bahkan di beberapa negara yang pernah menjadi tuan rumah
justru kondisi ekonomi berbanding terbalik dengan asumsi yang dibuat. Negara- negara
tersebut mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi maupun jumlah wisatawan tidak
memiliki peningkatan yang berarti bahkan menurun. Untuk ini kita bisa melakukan
riset sederhana dengan melihat data pertumbuhan ekonomi maupun pariwisata
negara-negara yang pernah menjadi tuan rumah.
Negara Indonesia memiliki slogan
Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, penyelenggaraan Miss World yang
memposisikan perempuan dinilai dan dihargai berdasarkan citra fisik mereka
telah mengkhianati prinsip kebhinekaan yang merupakan kearifan budaya bangsa. Keanekaragaman
etnis dan entitas budayanya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipertentangkan
dan diadu. Sementara ajang Miss World telah menyebabkan kesenjangan dalam
menjaga keutuhan pemahaman terhadap keragaman khasanah budaya bangsa. Apalagi kalau kita melihat
dari nilai-nilai agama, tentu kalau kita merujuk pada referensi kitab suci yang
menjadi pedoman agama akan kita dapatkan bahwa ajang Miss World adalah suatu yang
tidak bisa dibenarkan karena akan bertentangan dengan hakikatnya sebagai makhluk
yang diciptakan sempurna. Secara khusus penulis mengambil contoh dalam agama Islam.
Dalam Islam tidak boleh seorang
perempuan direndahkan dengan menjadikannya alat promosi dengan menampilkan
keindahan fisiknya untuk mempengaruhi penilaian pasar. Tidak juga dibenarkan
seorang perempuan menjadi pusat perhatian khalayak publik yang tidak berhak memandangnya.
Hal itu akan merendahkan martabat perempuan. Itulah sebabnya Islam sangat
menjaga martabat perempuan dari penilaian-penilaian subjektif terhadap pencipataan
fisik yang sejatinya unik dengan keistimewaan masing-masing.
Belum lagi pelecehan yang dilarang di
dalam Islam ketika perempuan dikondisikan membuka auratnya, dipertontonkan dan
dinilai adalah hal yang sangat memalukan. Islam mengajarkan perempuan untuk
menutupi dan menjaga auratnya. Maka penampilan Miss Word akan menimbulkan kesenjangan
dalam upanya penanaman nilai-nilai agama yang ditanamkan ke generasi muda.
Permisifnya masyarakat terhadap pengaruh buruk suatu budaya akan berdampak pada
pembentukan paradigma baru generasi muda yang lebih permisif.
Penyelenggaraan ajang Miss Word
meninjau pelaksanaan yang sudah pernah dilakukan tidak lepas dari sesi-sesi
yang sarat pornografi dan pornoaksi. Hal ini tentu akan melanggar aturan yang
berlaku di negara kita sebagaimana di atur oleh UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Sebagaimana pasal 4 dalam UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi tersebut
adalah dilarang mempublikasikan segala sesuatu yang menampilkan ketelanjangan
atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
Melihat aspek norma kesopanan dan
budaya timur yang dianut oleh Indonesia adalah tidak pantas menampilkan
ketelanjangan yang dikemas dalam acara kompetisi seperti yang dikemukakan di
atas. Sesi penilaian menggunakan bikini misalnya sebagaimana dilakukan pada
kompetisi ini di penyelenggaraan yang telah lalu, adalah bertentangan dengan norma
yang berlaku di negeri ini. Dan yang perlu dicermati pula adalah efek jangka panjang
yang akan melanda bangsa ini. Generasi muda yang menyerap pengaruh budaya yang masuk
akan menjadi sasaran terutama kaum hawa.
Perempuan diajak menuhankan
kecantikan dan dibuat frustasi untuk tanpil cantik secara artifisial disebabkan
informasi yang keliru yang telah dikampanyekan oleh kegiatan ini. Dilihat dari
sisi manfaat dan kualitas perempuan, ternyata secara signifikan tidak berarti
apa-apa. Kegiatan ini secara politis sendiri tidak mampu menampilkan sosok
perempuan yang mumpuni terjun mengatasi persoalan bangsa dan kemanusiaan.
Lagi-lagi perempuan hanya dipasang sebagai pemanis, atau pada umumnya lebih
banyak dari mantan peserta kontes kecantikan serupa itu menjadi penghias layar kaca
sebagai bagian dari entertainment menjadi selebritas.
Dari uraian di atas dapatlah penulis menyimpulkan
bahwa penyelenggaraan pemilihan Miss World tidak layak diselenggarakan dan diikuti.
Apalagi menjadikan rumah kita “Indonesia” sebagai tuan rumah penyelenggaraan Miss
World, sama saja merendahkan martabat bangsa. Kita sebagai bagian dari
Indonesia berhak menolak sesuatu yang bertentangan dan berpotensi merusak
nilai-nilai karifan budaya bangsa. Dan kepada penyelenggara semestinya memperhatikn
apa yang disuarakan oleh elemen masyarakat Indonesia. Bersikap membiarkan terhadap
segala potensi yang merusak bangsa adalah sama seperti tindakan meruska itu sendiri.
Sumber :
http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/08/28/ms8b68-gelaran-miss-world-abaikan-aspirasi-umat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar