Politik
Indonesia dewasa ini seperti sedang mendominasi wacana di media. Layaknya gula
yang sedang di kelilingi semut, seperti itulah media yang memberitakan kondisi
politik di Indonesia.
Saat ini
kondisi politik yang terjadi justru saling memperebutkan kekuasaan. Para
penjabat yang memiliki kekuasaan telah melupakan masyarakat. Janji – janji yang
dulu di buat justru di lupakan seiring dengan kursi kekuasaan yang di peroleh.
Seolah tidak menerima dengan kemenangan sang rival, maka berusaha mencari
kesalahan untuk dapat menggulingkan.
Kondisi politik
di Indonesia sangatlah memprihatinkan. Para pejabat masih saja sibuk mengurusi
kursi jabatannya. Lagi – lagi mereka melupakan soal rakyat. Semisal saja soal
kasus suap wisma atlet. Kita ketahui
bahwa Anggelina S merupakan kunci dari bobroknya korupsi yang terjadi di Wisma
Atlet. Namun, apa yang terjadi? Apakah Anggelina S berbicara jujur terkait
korupsi yang terjadi di Wisma Atlet? Tidak kawan, justru beliau menutupi
kondisi yang sebenarnya terjadi.
Kondisi
tersebut sangatlah memprihatinkan. Hal tersebut masih salah satu contoh yang ada.
Berbicara kondisi politik di Indonesia maka tidak akan jauh dari sebuah
kekuasaan. Dewasa ini politik justru seringkali di gunakan sebagai alat untuk
mencapai kekuasaan. Entah dengan apa
pun, tidak melihat rambu - rambu yang ada, hal yang terpenting kursi kekuasaan
harus di dapat. Namun, kursi kekuasaan itu harus di bayar dengan pengorbanan
yang besar juga baik itu fikiran dan materil.
Akhirnya rakyat
yang menjadi korban dari kondisi politik yang ada sekarang. Para birokrat
bangsa ini sepertinya masih terlalu sibuk untuk terus berebut kursi kekuasaan.
Sebenarnya
politik layaknya sebuah pisau. Bila pisau tersebut di gunakan oleh ibu rumah
tangga untuk memasak maka pisau akanlah sangat bermanfaat. Maka akan tersedia
hidangan yang lezat untuk keluarga. Namun beda cerita bila pisau tersebut di
gunakan oleh pembunuh. Maka yang terjadi adalah sebuah kesedihan dan
kesengsaraan yang terjadi.
Begitu pula
dengan politik, ia akan bisa menjadi sebuah alat untuk mencapai sebuah
kebahagiaan atau malah menjadi sebuah kesengsaraan. Dewasa ini, para politikus
yang ada justru tidak mampu memberikan sebuah kesejukan di tengah gerahnya
suasana politik yang ada. Para politikus ini nampaknya masih terlalu sibuk.
Padahal rakyat Indonesia di luar sana menjadi korban mereka.
Kita semua bisa
melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya dalam soal pembelian
mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga
pembangunan pagar istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah.
Kebijakan itu jelas mencederai rasa keadilan publik karena di saat yang sama
kemiskinan masih mengharu biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per
Maret 2010 berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang–relatif tak banyak berubah
jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10 juta
orang). Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo, terjadinya
‘kriminalisasi’ terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus Bank Century yang
belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa tebang pilih terhadap
penanganan kasus korupsi. Kesemuanya itu adalah contoh - contoh lain
yang harus diakui kian mengiris rasa keadilan. Kendati dibalut pernyataan-pernyataan
yang apik dan santun, pada
akhirnya penyikapan dari penyelenggara negara terhadap kasus-kasus
tersebut tetap saja dinilai jauh dari komitmen untuk mewujudkan aspirasi dan
kehendak rakyat.
Selain contoh - contoh yang
ada di atas, masih banyak kita lihat masalah soal kemiskinan, putus sekolah dan
kelaparan. Namun sepertinya para pejabat ini masih belum tersentuh untuk menuju
ke situ akhirnya masih berkutat dengan masalah kekuasaan.
Sebenarnya
politik tidak hanya di kekuasaan saja. Namun ekonomi pun sudah di politikkan.
Sebenarnya politik itu merupakan bagaimana seseorang mampu mempengaruhi orang
sekelompok lain agar mengikuti gagasan yang kita fikirkan.
Dalam aspek
obyektif, Sukardi mencontohkan harga cabai yang makin hari semakin mahal.
Kondisi tersebut akan semakin parah bila pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
tergesa-gesa, misalnya dengan kenaikan harga tiket kereta ekonomi. Momentum ini
bisa dipakai untuk menyerang kekuatan politik lawannya. Untuk aspek dari daerah, Sukardi
mencontohkan polemik keistimewaan Yogyakarta yang hingga saat ini masih
berlarut-larut. Menurut Sukardi, pemerintah harus cepat menyelesaikan polemik
tersebut. Kalau tidak, masalah itu juga akan dijadikan partai lain sebagai
amunisi untuk menyerang Demokrat.
Sekarang ini
keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang diinginkan. Banyak rakyat
beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu yang hanya mementingkan
dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Pemerintah Indonesia pun
tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini ditunjukkan
oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup mereka belum dapat disejahterakan
oleh negara. Pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri menjadi buruk,
dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai
wakil rakyat dengan baik.bagi mereka politik hanyalah sesuatu yang buruk dalam
mencapai kekuasaan.
Jika hal ini
terus di biarkan, maka seperti bom yang terus di pendam. Maka suatu saat akan
meletus juga. Jika kondisi pemerintah terus seperti ini maka tidakl mustahil
jika rakyat tidak akan percaya dengan politik. Ketidakpercayaan para rakyat
inilah yang sangat berbahaya bagi kestabilan negara. Akibatnya masyarakat akan
cenderung apatis terhadap kondisi sebuah negara. Karena kestabilan negara juga
di pengaruhi oleh kestabilan politik yang ada di negara tersebut. Apabila
gejolak politik di suatu negara terus menerus bergejolak maka tidak mustahil
jika terjadi peperangan. Akibatnya masyarakat yang menjadi korban seperti
negara negara di timur tengah.
Kesimpulan : Rakyat Indonesia belum
merasakan kinerja yang baik dari pemerintah Indonesia, malahan membuat mereka
memandang buruk terhadap politik itu sendiri. Selain itu, para generasi muda
Indonesia haruslah diperkenalkan dengan politik yang sebenarnya, agar
dikemudian hari mereka dapat menjadi generasi baru yang lebih bertanggung
jawab. Sehingga kondisi bangsa ini tidak terus terpuruk akibat politik tidak
bertanggungjawab para pejabat sekarang. Sudah seharusnya kita membanahi bangsa ini. Karena bila
kondisi seperti ini terus di budayakan, maka bukanlah hal yang mustahil jika
suatu saat nanti nama Indonesia hanya tinggal sejarah.
Sumber : http://politik.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar