Minggu, 10 November 2013

Neraka itu Bernama Jakarta



Pertambahan jumlah penduduk dan terus tumbuhnya kelas menengah yang tidak dibarengi infrastruktur memadai, membuat problem Jakarta bertambah kusut. Kemacetan lalu-lintas parah di mana-mana, tak cuma jalan protokol, di ‘jalan tikus’ pun kemacetan mengular. Saking parahnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengibaratkan raut Jakarta bak ‘neraka’.

Benar bahwa persoalan Jakarta bukan semata kemacetan lalu-lintas. Kriminalitas, bencana banjir seperti yang menimpa warga Jakarta bulan lalu, permukiman kumuh, kebutuhan air bersih sampai sampah, menjadi problem yang tak kalah serius. Namun kemacetan lalu-lintas adalah problem yang teramat serius.
  

Percepatan pembangunan infrastruktur yang menunjang sistem transportasi demi mengatasi problem kemacetan lalu-lintas, mendesak segera dilakukan. Sebab jika tidak, pada 2014, menurut studi Japan International Corporation Agency (JICA) dan The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), lalu-lintas Jakarta akan lumpuh total. Jika bencana yang dalam kamus transportasi disebut gridlock itu terjadi, Jakarta benar-benar menjadi sebuah neraka.

Sistem transportasi yang ada di Jakarta memang centang perenang. Padahal dulu, di masa penjajahan Belanda dan Jakarta masih bernama Batavia, kota ini punya sistem transportasi yang termasuk modern di zamannya. Saat itu sistem transportasi Jakarta tak kalah dengan kota-kota di Eropa dan AS. Bahkan Jakarta dianggap pionir penerapan sistim transportasi umum perkotaan modern berbasis jalan rel di Asia.

Tapi sejalan dengan terus berkembangnya kota dan kebijakan rezim Presiden Soeharto (1967-1988) yang memosisikan Jakarta sebagai sentral segala-galanya di Indonesia, kota ini seperti ‘gagap’ melihat perkembangan yang terjadi. Sistem MRT zaman baheula dikubur dalam ruang sejarah lalu coba dibangkitkan lagi pada 1986, kemudian pada 1992 dengan melibatkan konsultan asal Inggris, The DCM Group Ltd. Hasilnya, tak lebih dari sekadar tumpukan kertas kerja tanpa aksi.

Baru pada awal 2004 dalam wujud busway dengan bus TransJakarta, konsep MRT coba dihidupkan untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Hasilnya lumayan. Pada 2009 jumlah penumpang TransJakarta tercatat 83,2 juta dan menjadi 86,9 juta pada 2010. Jumlah itu meningkat lagi menjadi 114,78 juta pada 2011 namun mengalami penurunan menjadi 110 juta tahun lalu yang diduga karena turunnya kualitas pelayanan TransJakarta akibat banyak armada bus yang rusak, sulitnya memperoleh bahan bakar gas (BBG) dan tidak sterilnya jalur busway.

(Sumber : inspirasi-insinyur.com)



1 komentar: