Hari ini kita akan memperingati hari
antikorupsi sedunia. Tentu kita pantas bersedih, pantas menangis melihat
bagaimana negeri ini tak kunjung terbebas dari cengkeraman korupsi. Karena
korupsi-lah yang telah membuat bangsa ini terpuruk dan semakin tertinggal
dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Apalagi
“prestasi” korupsi di negara kita tetap tinggi. Survei Transparency
International (TI) menyebutkan Indonesia menempati urutan ke-114 dari 177
negara dalam Corruption Perception Index (CPI) 2013. Posisi Indonesia
dalam memberantas korupsi dinilai cukup rendah, yakni 32. Posisi ini sama
dengan tahun 2012.
Bayangkan
saja, Indonesia berada jauh di posisi bawah dibanding Singapura (86), Taiwan
(61), Brunei (60), Malaysia (50), dan Filipina (36). Survei yang dilakukan
kepada 114.000 orang di 107 negara menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga-lembaga negara di Indonesia semakin menurun terhadap upaya
pemberantasan korupsi. Survei di atas menunjukkan upaya pemberantasan korupsi
yang dilakukan lembaga penegak hukum belum mendapatkan hasil yang baik. Bahkan boleh
dibilang pemberantasan korupsi di negara ini masih dalam tataran “formalitas”
belaka. Pemberantasan korupsi hanya menyentuh kulit luarnya. Jadi kita masih
“bermimpi” untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bebas korupsi. Ada
sejumlah penyebab mengapa negara ini masih terus terjangkit penyakit kronis
korupsi.
Pertama,
rendahnya hukuman yang diberikan bagi koruptor dinilai tidak memberikan efek jera
bagi orang lain untuk berbuat korupsi. Apalagi, banyak di antaranya yang
mendapat hukumanbebas. Karenaitu, ketika beberapa waktu lalu ada hakim yang
menghukum Andrian Waworuntu seumur hidup dan Angelina Sondakh dengan hukuman 12
tahun penjara dan harus membayar uang pengganti hampir Rp 40 miliar, langsung
mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Hukuman tinggi bagi dua terpidana
korupsi itu seperti menjadi oase bagi minimnya vonis bagi para koruptor.
Kedua,
korupsi yang dilakukan semakin canggih dan dilakukan secara berjamaah bukan
lagi orang per orang. Bahkan, seperti kasus Hambalang, merupakan contoh korupsi
yang dilakukan secara sistematis karena dirancang mulai awal dan akhirnya
dibuat “bancakan” para oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab. Hal ini yang
membuat penanganan kasus korupsi semakin kompleks dan rumit.
Ketiga, korupsi yang terjadi seperti sudah menjadi budaya. Bukan rahasialagi, banyak sekali anggaran di-mark up dan hasilnya dibagi-bagi secara merata. Korupsi tak hanya dilakukan oleh pejabat, pegawai kecil pun secara sadar juga melakukannya. Jadi, korupsi yang terjadi memang sudah menjadi budaya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Apalagi, saat ini orang yang korupsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dilakukan untuk memenuhi nafsu keserakahan. Kasus korupsi SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini maupun suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bisa menjadi contoh nyata betapa meskipun sudah memiliki gaji tinggi, mereka tetap mengkhianati amanah rakyat dengan korupsi.
Ketiga, korupsi yang terjadi seperti sudah menjadi budaya. Bukan rahasialagi, banyak sekali anggaran di-mark up dan hasilnya dibagi-bagi secara merata. Korupsi tak hanya dilakukan oleh pejabat, pegawai kecil pun secara sadar juga melakukannya. Jadi, korupsi yang terjadi memang sudah menjadi budaya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Apalagi, saat ini orang yang korupsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dilakukan untuk memenuhi nafsu keserakahan. Kasus korupsi SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini maupun suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bisa menjadi contoh nyata betapa meskipun sudah memiliki gaji tinggi, mereka tetap mengkhianati amanah rakyat dengan korupsi.
Keempat,
masih adanya kesan tebang pilih dari para aparat hukum untuk mengusut kasus
korupsi. Para penegak hukum cenderung berbelit jika mengusut kasus yang
melibatkan kekuasaan. Sebaliknya, mereka akan sangat tegas jika berhadapan dengan
masyarakat yang tidak memiliki dukungan ekonomi dan politik sama sekali. Jadi
jangan heran jika, vonis orang mencuri ayam terkadang lebih tinggi dibandingkan
koruptor yang menggarong uang negara miliaran rupiah. Penegak hukum masih
ewuh pakewuh pada koruptor yang masih memiliki pengaruh tertentu. Padahal,
seharusnya sebagai penegak hukum mereka harus tegas kepada pengkhianat bangsa
yang telah mencuri uang rakyat tersebut.
Tak bisa ditunda lagi, fenomena di atas harus benar-benar menjadi cambuk bagi para penegak hukum untuk membebaskan negara ini dari lilitan korupsi. Jangan sampai terdengar lagi, koruptor dihukum rendah atau bebas karena adanya “main mata” dengan aparat hukum. Aparat hukum yang melanggar harus dihukum lebih berat lagi. Hukuman mati bagi koruptor tampaknya perlu dicoba diberikan karena negara kita sudah sangat darurat korupsi. Selain juga, pemiskinan koruptor bisa menjadi strategi jitu untuk menumpas koruptor, karena ternyata banyak koruptor yang tidak takut diadili, yang ditakutinya hanya kemiskinan. Mari kita mulai dari diri kita untuk tidak korupsi!
Sumber
: Sindonews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar