Penyakit korupsi sepertinya belum mau beranjak
pergi dari Indonesia jika melihat hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang
diluncurkan oleh Transparency International. Indonesia hanya mendapat nilai 32
atau sama dengan tahun 2012 dan berada di peringkat 114 dari 177 negara. Nilai
32 dari rentang skor 0–100 masih jauh dari baik atau mungkin bisa dikatakan
buruk. Bahkan di negara-negara Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura
(86), Brunei Darussalam (60), Malaysia (50), Filipina (36), dan Thailand (35).
IPK Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (31), Timor Leste (31), Laos (26),
Myanmar (21), dan Kamboja (20). Secara global, Indonesia masuk dari 70% negara
yang memiliki nilai IPK di bawah 50.
Penilaian
ini merupakan penggabungan data dari 13 lembaga internasional dan penggambaran
persepsi para pakar serta pebisnis di sektor publik. Meski mengalami
peningkatan peringkat, dengan nilai IPK hanya 32 menunjukkan bahwa negara ini
masih dipersepsikan negara korup oleh dunia global. Lalu, validkah penilaian
dari Transparency International? Tentu ini akan menjadi perdebatan.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perilaku korupsi memang
sepertinya sudah merasuk di masyarakat kita.
Terlepas
dari valid atau tidak penelitian tersebut, memang harus diakui korupsi masih
saja menjadi penyakit akut bagi bangsa ini. Dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk mencegah dan mengatasi korupsi tampaknya masih jauh api
dari panggang. Harus diakui, meski sudah berhasil mengungkap tindakan korupsi
di beberapa proyek pemerintah bahkan menyeret beberapa pejabat baik menteri
maupun setingkat menteri, tohkorupsi masih menjadi penyakit yang butuh
penanganan khusus.
KPK
yang sudah 10 tahun berkiprah di Tanah Air, tampaknya belum mampu mengurangi
penyakit korupsi di negeri ini. Namun, tidak fairjika pemberantasan korupsi
hanya dibebankan kepada KPK. Masih ada aparat lain yaitu kejaksaan dan
kepolisian yang bisa berperan secara lebih aktif mengatasi penyakit ini. Pun
demikian lembaga peradilan di negeri ini juga mempunyai peran yang signifikan.
Artinya, masih tingginya persepsi korupsi di Indonesia di mata global bukan
hanya dibebankan kepada KPK, melainkan juga lembaga penegak hukum lainnya.
Bahkan,
departemen atau lembaga di pemerintahan ataupun perusahaan milik negara juga
harus ikut berperan aktif dalam memerangi penyakit ini. Cukupkah kita
membebankan kepada aparat penegak hukum dan pejabat? Lebih penting lagi
sebenarnya peran masyarakat dalam menghadapi ini. Bak sudah menjadi kebiasaan,
tanpa disadari masyarakat melakukan tindakan cenderung korupsi atau bahkan
korupsi.
Melakukan
pelanggaran aturan-aturan baik di lalu lintas, pajak, ataupun lainnya, adalah
sebuah tindakan cenderung koruptif yang bisa mengarah korupsi. Masih banyak
tindakan masyarakat yang tanpa disadari mengarah ke korupsi atau bahkan
korupsi. Jadi, akan lebih baik daripada terus menghujat koruptor dan aparat
penegak hukum, masyarakat pantas mengoreksi atau mereviu tindak tanduknya
apakah sudah tidak korupsi. Artinya melihat penyakit korupsi di negeri ini
harus lebih komprehensif dari individu kita, pejabat, lembaga atau organisasi,
aparat, hingga sistem yang menghubungkan kepentingan semua tersebut. Akan
menjadi kurang bijak jika kita menanggapi nilai IPK 32 dari Transparency
International dari sisi aparat penegak hukum saja. Bangsa ini harus
belajar melihat lebih luas sebuah persoalan, sehingga bisa memberikan solusi
atau bahkan ikut mengatasi sebuah persoalan dengan lebih tepat.
Cara-cara
ini juga menghindari sikap saling menyalahkan yang justru merupakan langkah
kontradiktif menyelesaikan sebuah persoalan. Tentu jika kita melihat lebih luas
dan komprehensif maka penyakit korupsi ini bisa diatasi dengan baik, dan negeri
ini akan disejajarkan dengan Denmark dan Selandia Baru yang dipersepsikan
negara bersih korupsi. Sekali lagi, syaratnya adalah melihat persoalan lebih
komprehensif bukan sepotong-sepotong.
Sumber : Sindonews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar