Hari AIDS
sedunia 1 Desember lalu memunculkan kontroversi. Cerita ini terjadi ketika
peringatan yang diarahkan untuk kampanye memerangi penyakit yang disebabkan
infeksi virus HIV itu diwarnai dengan Pekan Kondom Nasional (PKN). Kontroversi terjadi karena PKN yang digelar
dari 1–7 Desember diisi dengan acara bagi-bagi kondom ke kampus dan sekolah-
sekolah. Kontan saja, langkah ini menuai kritik dari sejumlah kalangan. Tak
kurang dari Majelis Ulama Indonesia, ormas Islam, organisasi mahasiswa, dan
tokoh nasional turun gunung untuk beramai- ramai mengecam program tersebut.
Malah, sebuah
ormas memberi gelar kepada Menteri Kesehatan Nafsiah Mboy sebagai Ratu Kondom
karena dianggap mendukung program tersebut. Selain kritik, protes ada yang
diwujudkan dalam demonstrasi di kampus-kampus, beberapa di antaranya diwarnai
benturan fisik. Muara kritik adalah, langkah yang dipilih tersebut sama halnya
melegalkan seks bebas. Mengampanyekan penanggulan HIV/AIDS dengan cara tersebut
menunjukkan rendahnya pemahaman otoritas terkait terhadap etika dan nilai moral
serta kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Pendek kata, gerakan kondomisasi
tersebut adalah program ngawur dan harus dicabut karena bisa menimbulkan
bencana baru.
Pihak pendukung
program tersebut, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), sejauh
ini bersikukuh tidak ada yang salah dengan program tersebut. Selain
berkeyakinan dengan manfaat kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS, mereka
juga beralasan kampanye di kampus dan sekolah merupakan bagian dari program
komprehensif kampanye anti-AIDS. Tetapi, kalau diselisik lebih jauh, kritikan
yang kemudian muncul juga bisa dipahami.
Membagi kondom
memang bisa berpotensi mengampanyekan seks bebas di kalangan remaja. Ibarat
membagi permen ke anak-anak, pembagian kondom bisa menjadi ajakan untuk
mencobanya. Potensi tersebut sangat mungkin terjadi jika penerima adalah mereka
yang tidak mempunyai fondasi akhlak kuat. Pembagian kondom ke kalangan mahasiswa
juga tidak tepat sasaran. Semestinya, kampanye tersebut langsung ke sasarannya,
yakni tempat atau pusat pergerakan para hidung belang atau mereka yang
berpotensi tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Kalau pun harus kampanye
ke kampus, caranya bukan bagi-bagi kondom, tapi program yang bersifat edukatif
seperti diskusi atau bimbingan spiritual.
Dalam konteks
berpikir sistem, intervensi yang dilakukan dengan membagi kondom ke kampus dan
sekolah juga dipastikan tidak efektif karena sejatinya kondom bukanlah solusi
utama pencegahan HIV/AIDS. Semestinya yang dikampanyekan adalah bagaimana
masyarakat bisa menjauhi seks bebas dan menggunakan narkoba yang menjadi sumber
utama penularan AIDS, sembari terus mengingatkan bahaya HIV/AIDS yang tidak
bisa disembuhkan. Kementerian Kesehatan dan KPAN sendiri pada akhirnya lepas
tangan terhadap program kondomisasi tersebut dengan dalih program tersebut
merupakan program swasta––produsen kondom DKT Indonesia––dan mereka pun tidak
menggelontorkan dana untuk program tersebut.
Akan tetapi,
persetujuan yang diberikan dengan memberi perizinan terhadap pelaksanaan
program tersebut secara nasional, sebenarnya menunjukkan bahwa kedua lembaga
tersebut harus bertanggung jawab. Kecuali mereka sudah tidak mempunyai kepekaan
lagi terhadap karakter sosiologis masyarakat, karena sudah terseret jauh alur
pemikiran liberalistis.
Sumber : Sindonews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar