Review
Kajian Tentang Keterkaitan Koperasi Sekunder dengan Koperasi Primer Anggotanya*)
*) Kajian Asdep Urusan Penelitian Koperasi tahun 2007.
Artikel diterima 24 April 2009, peer review 24 April 2009, review akhir 7 Juli 2009
**) Kabid. Kehutanan, Deputi Bidang Produksi (koordinator kajian)
***) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
Oleh :
Togap Tambunan**) dan Jannes Situmorang***)
V. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui sejauh mana koperasi sekunder berperan menunjang aktivitas dan usaha-usaha koperasi anggotanya maka perlu dibahas sejauh mana keterkaitan di antara mereka. Keterkaitan di antara koperasi sekunder dan koperasi anggotanya dapat terwujud di dalam fungsi-fungsi yang dijalankan di antara mereka. Keterkaitan diantara koperasi dibedakan atas dua kategori. 1). keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggota secara keseluruhan. 2). keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggota dipisahkan menurut golongan fungsi yakni fungsi-fungsi kelembagaan, fungsi-fungsi usaha dan fungsi-fungsi penunjang.
5.1 Keterkaitan Koperasi Sekunder Tingkat Provinsi dengan Koperasi Primer Anggotanya Dianalisis Menurut Keseluruhan Fungsi
Koperasi sekunder secara nyata dapat terkait dengan koperasi primer anggotanya jika dilihat dari sisi pelaksanaan fungsinya secara menyeluruh. Pada tabel 2 disajikan distribusi frekuensi pelaksanaan fungsi-fungsi keterkaitan koperasi sekunder dengan anggotanya, dan pada tabel 3 disajikan nilai chi square menurut analisis keseluruhan fungsi integrasi.
Hasil analisis pada tabel 3 menunjukkan bahwa nilai chi square sangat besar yaitu sebesar 304,04. Sedangkan nilai kritis chi square pada α = 0,01 sesuai kurva normal adalah sebesar 99,44. Perbandingan antara keduanya menunjukkan bahwa nilai chi square hasil perhitungan lebih besar dari nilai kritis chi square. Ini berarti kita tolak hipotesis nol (H0) atau terima hipotesis alternatif (H1). Tolak hipotesis nol (H0) memiliki arti bahwa secara keseluruhan koperasi sekunder memiliki hubungan keterkaitan yang signifikan dengan koperasi primer anggotanya.
Namun setelah diuji keterkaitan tersebut dengan uji kontingensi, diperoleh nilai koefisien kontingensi koperasi sekunder sesuai tabel 3 hanya sebesar 0,497. Angka ini lebih kecil dari 0,5 sebagai kriteria statistik yang menunjukkan bahwa keterkaitan tersebut digolongkan kuat. Karena itu nilai koefisien kontingensi sebesar 0,497 memiliki arti bahwa ada keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi primer.
anggotanya, namun keterkaitan tersebut (keeratan hubungan) antara keduanya digolongkan lemah, yakni hanya sebesar 49,7%.
Secara statistik, kita telah menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggotanya. Berikut itu ditunjukkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang memperlihatkan keterkaitan tersebut pada Gambar 5 dan 6.
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa secara frekuensi PKP–RI melaksanakan 21,10% fungsi-fungsi keterkaitan dari total pelaksanaan semua fungsi oleh semua koperasi. Berikutnya, PUSKUD melaksanakan sebanyak 19,38% dan PKSU dan PUSKOPDIT masing-masing melaksanakan 13,46%. Hasil ini menunjukkan bahwa keempat koperasi diatas secara frekuensi paling banyak melaksanakan fungsi-fungsi keterkaitan dengan anggotanya.
Tiga koperasi yang sangat rendah presentase frekuensi pelaksanaan fungsinya adalah PUSKOPPAS (2,15%), PUSKUD MINA (1,51%), dan PUSKOPPONTREN (1,40%). Dengan persentase yang rendah seperti ini berarti koperasi-koperasi tersebut relatif kurang dapat melaksanakan fungsi-fungsi keterkaitannya. Ini berarti mereka mengabaikan tanggung jawabnya kepada koperasi anggotanya.
Gambar 6 menunjukkan bahwa fungsi FA12 yaitu koperasi primer anggota menghadiri rat koperasi sekunder tingkat provinsi secara frekuensi paling banyak dilaksanakan oleh semua koperasi, yaitu sebanyak 8,93%. Fungsi FA14 (koperasi primer anggota memenuhi kewajibannya kepada koperasi sekunder) dilaksanakan sebanyak 8,61%, dan FA2 (koperasi sekunder memberikan masukan yaitu menghadiri dan mengarahkan rat koperasi primer anggotanya) dilaksanakan sebanyak 7,00%.
Hasil analisis pada tabel 3 menunjukkan bahwa nilai chi square sangat besar yaitu sebesar 304,04. Sedangkan nilai kritis chi square pada α = 0,01 sesuai kurva normal adalah sebesar 99,44. Perbandingan antara keduanya menunjukkan bahwa nilai chi square hasil perhitungan lebih besar dari nilai kritis chi square. Ini berarti kita tolak hipotesis nol (H0) atau terima hipotesis alternatif (H1). Tolak hipotesis nol (H0) memiliki arti bahwa secara keseluruhan koperasi sekunder memiliki hubungan keterkaitan yang signifikan dengan koperasi primer anggotanya.
Namun setelah diuji keterkaitan tersebut dengan uji kontingensi, diperoleh nilai koefisien kontingensi koperasi sekunder sesuai tabel 3 hanya sebesar 0,497. Angka ini lebih kecil dari 0,5 sebagai kriteria statistik yang menunjukkan bahwa keterkaitan tersebut digolongkan kuat. Karena itu nilai koefisien kontingensi sebesar 0,497 memiliki arti bahwa ada keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi primer.
anggotanya, namun keterkaitan tersebut (keeratan hubungan) antara keduanya digolongkan lemah, yakni hanya sebesar 49,7%.
Secara statistik, kita telah menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara koperasi sekunder tingkat provinsi dengan koperasi primer anggotanya. Berikut itu ditunjukkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang memperlihatkan keterkaitan tersebut pada Gambar 5 dan 6.
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa secara frekuensi PKP–RI melaksanakan 21,10% fungsi-fungsi keterkaitan dari total pelaksanaan semua fungsi oleh semua koperasi. Berikutnya, PUSKUD melaksanakan sebanyak 19,38% dan PKSU dan PUSKOPDIT masing-masing melaksanakan 13,46%. Hasil ini menunjukkan bahwa keempat koperasi diatas secara frekuensi paling banyak melaksanakan fungsi-fungsi keterkaitan dengan anggotanya.
Tiga koperasi yang sangat rendah presentase frekuensi pelaksanaan fungsinya adalah PUSKOPPAS (2,15%), PUSKUD MINA (1,51%), dan PUSKOPPONTREN (1,40%). Dengan persentase yang rendah seperti ini berarti koperasi-koperasi tersebut relatif kurang dapat melaksanakan fungsi-fungsi keterkaitannya. Ini berarti mereka mengabaikan tanggung jawabnya kepada koperasi anggotanya.
Gambar 6 menunjukkan bahwa fungsi FA12 yaitu koperasi primer anggota menghadiri rat koperasi sekunder tingkat provinsi secara frekuensi paling banyak dilaksanakan oleh semua koperasi, yaitu sebanyak 8,93%. Fungsi FA14 (koperasi primer anggota memenuhi kewajibannya kepada koperasi sekunder) dilaksanakan sebanyak 8,61%, dan FA2 (koperasi sekunder memberikan masukan yaitu menghadiri dan mengarahkan rat koperasi primer anggotanya) dilaksanakan sebanyak 7,00%.
Empat fungsi paling rendah frekuensi pelaksanaannya adalah masing-masing FB2 (KS membangun jaringan pemasaran bagi anggota) sebesar 1,94%, FB6 (KS mengadakan temu usaha dengan koperasi anggotanya) sebesar 1,82%, FB3 (KS membantu pengolahan/proses produksi dari koperasi primer anggota) dan FB5 (KS membantu promosi produksi kepada koperasi primer anggota) masing-masing dilaksanakan hanya sebanyak 0,86%. Ini berarti keempat fungsi ini sangat jarang dilaksanakan oleh koperasi sekunder, padahal fungsi-fungsi tersebut adalah penting untuk menunjang kemandirian koperasi anggotanya.
5.2 Keterkaitan Koperasi Sekunder Tingkat Provinsi dengan Koperasi Primer Anggotanya Dianalisis Menurut Kelompok Fungsi
Analisis menurut kelompok fungsi dimaksudkan untuk melihat apakah ada keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi anggotanya dilihat dari 3 kelompok fungsi, masing-masing fungsi kelambagaan, fungsi usaha, dan fungsi penunjang. Pada tabel 4 disajikan distribusi frekuensi pelaksanaan fungsi-fungsi keterkaitan koperasi sekunder dengan anggotanya menurut katagori fungsi, dan pada tabel 5 disajikan nilai chi square menurut analisis kelompok fungsi integrasi.
Angka ini lebih kecil dari 0,5 sebagai kriteria statistik yang menunjukkan bahwa keterkaitan tersebut digolongkan kuat. Karena itu nilai koefisien kontingensi sebesar 0,293 memiliki arti bahwa ada keterkaitan antara koperasi sekunder dengan koperasi primer anggotanya, namun keterkaitan tersebut (keeratan hubungan) antara keduanya digolongkan cukup lemah, yakni hanya sebesar 29,3%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar